PERSIAPAN IKUT “Ancol Art Festival 2010/ Jambore Seni Rupa Nasional XV”

Poster Ancol Art Festival 2010/ Jambore Seni Rupa Nasional XV

Poster Ancol Art Festival 2010/ Jambore Seni Rupa Nasional XV

Wah, Thank God! beta dapat kesempatan ketemu kumpul kongkow (K3) dengan banyak teman dari seluruh Indonesia di pasar seni Ancol dalam acara “Ancol Art Festival 2010/ Jambore Seni Rupa Nasional 2010”. Namun tentu perlu ada persiapan, nah karena memang merupakan pengalaman baru, tentunya agak kelabakan.

Kali ini saya mau sedikit bercerita tentang apa saja aktivitas di balik persiapan dan proses melukis di kanvas. Mulai dari bikin span ram, masang kanvas, milih bingkai, dan memasang lukisan di bingkainya. Tentu saja tidak dapat diceritakan di sini pontang-pantingnya ngumpulin modal untuk beli kanvas, beli cat, kuas, linsed oil, dll, dsb, tetek-bengek yang seringkali menekan idealisme.

Tapi tak mengapa, dibantu dua anakku, yang nomor 4, Ima, dan yang nomor 5, Billy, semuanya jadi asik. Banyak anak banyak rejeki. Amin.

NAPI REBAH DI KAKUS

Ini sketsa yang tercecer di agenda, ternyata catatan bersejarah yang cukup penting dan menarik. “Historia vitae magistra… sejarah adalah guru kehidupan.

Aku, si Napi Busuk

Aku, si Napi Busuk

dan di balik sketsa itu tertulis…

Syair Napi Rebah di Kakus

Syair Napi Rebah di Kakus

Pelabuhan enak, 22 Juli 2010

PAMERAN LUKISAN YANG KUIMPIKAN…

pameran lukisan impianku, bukan di istana megah kediaman para raja
bukan pula puri megah trah bangsawan
jauh dari bangsal megah kaum saudagar kaya raya
tak pula di sekitar menara gading kaum cendekia

mimpiku, berpameran di trotoar penuh debu…
sudut lapangan di belakang pedagang kaki lima,
seblah warung nasi kucing tempat abang becak bercengkerama dalam lapar
menghibur diri dan mengucap syukur, sebab masih bisa tersenyum kendati anak-anaknya putus sekolah…

kebanggaanku, bukanlah lukisan terjual berjuta-juta
senyum penyapu jalanan jauh lebih berharga dari pada pujian seratus kurator ternama

ha ha ha ha ha ha…..
dalam lapar di dasar sumur,
aku tertawakan kalian yang di bibir sumur
terbahak pongah menengok kami yang berbedak lumpur

impianku, menjajakan keliling lukisanku keliling kampung kumuh
lalu tetirah di bawah pohon jambu
berbagi lelah dengan mbok jamu
senyum bahagia meski dagangan kami tak laku-laku

pameran impianku, cukup diterangi petromaks dan rembulan di malam hari
tak kuperlu cahaya berlapis
hanya untuk terima wajah-wajah anarkis
bahkan tatap mata bocah bingung di depan kanvasku
lebih berarti daripada sejuta apresiasi berlatar segunung ilmu

ha ha ha… jika kau merdeka karena uangmu
aku pun bebas dengan kanvas dan kuasku
jika kau bahagia karena kekayaanmu
aku pun sejahtera karena syukurku

pameran impianku, pameran penuh ucapan syukur
wadah gelegak amarah terkubur
lebur dalam ketidakmengertian dan tudung ketidaktahuan

lupakan pakem, lupakan harga
cukuplah jika kita duduk bersama
bersaji kopi kental tanpa gula
bersisian deretan lukisan tanpa makna…

(Dari anjing geladak di palka kapal tak bernama, 11 Juli 2010)

SESAJEN UNTUK IBU PERTIWI

Sesajen 1

Sesajen 1

Duhai bunda, terimalah pengaduan hamba…

Bulan lalu ada ibu menjual bayinya,
takut tak mampu membesarkan
Minggu lalu anak perawan tetanggaku menjual diri
Terhimpit lapar, tak lagi peduli kehormatan…

Ada pula sahabat yang kukuh menjaga gengsi
Dalam diam marah lalu bunuh diri
Apakah hanya mati pilihan kami?
Habiskah pilihan kami?

Bunda tercinta, tahun lalu banyak anakmu mati terinjak-injak
tak berdaya menolak daya pikat pembagian sembako gratis
inilah kami yang tak bisa mengelak
panggilan para tuan besar kaya, cari nama secara bengis

Duhai bunda, tadi siang tabung gas meledak lagi
Selusin hangus setengah mati,
Sekeranjang lagi sungguh-sungguh mati jadi arang
Ibu anak meratapi tulang-belulang

Bunda tercinta, hamba hanya bisa marah
hanya itu pilihan tersisa
Ini anakmu datang menyembah
Haturkan sesaji penebus duka

Bunda, ijinkan hamba membunuh
sebab kami yang miskin, bodoh, sakit dan sial
telah bosan dan lemah terima ipuh
ijinkan kami membalas sekali sebelum ajal

Hamba menyajikan empat kepala
perampas kompor tua tercinta
Hamba membawakan empat penguasa
pemaksa masuknya bom ke dapur hamba

Sesajen 2

Sesajen 2

Terimalah sesaji hamba yang hina
Hasil sembelihan dengan sisa-sisa daya
Sebelum hamba yang lelah dan tua
Mati dengan sendirinya

Duhai bunda, terimalah sesaji hamba,
inilah kepala mereka yang kaya raya
duduk pongah di singasana
bangkai kompor tua milik hamba

Duhai bunda, berikanlah kiranya kami seorang raja
yang tahu rasanya lapar…
yang tahu sedihnya menjual bayi anak kandung sendiri…
yang tahu perihnya luka bakar akibat ledakan gas…
yang tahu mirisnya hati punya anak gadis pelacur…
yang tahu bagaimana rasanya tak berilmu…

Ah, ternyata… mohon maaf bunda,
hamba batal serahkan sesaji
karena ternyata
salah satunya, kepala hamba sendiri…

Sajen Batal...

Sajen Batal...

(dari kapal di atas gunung…, MosF-8 Juli 2010, jam 2:22)

Serial Fabel Nonsense Bagian 1: “Negeriku Kini”

Anjing Kepala 2

Anjing Kepala 2

1.

Anjing kepala dua

Mencari Naga

Kelola Negara

Tak bisa melengkung

Hanya ditelikung

Bebas terkurung

Tinggi lancung melambung

Terhempas limbung…

Karena emas pemimpin terpasung

Sisakan rakyat belatung

Satu-satu dipancung

Lupakan diri, nonsense cogito ergo sum, mendingan linglung

Anjing Ekor Buaya

Anjing Ekor Buaya

2.

Anjing penjaga berekor buaya

Pemangsa rakyat harapan bangsat

Anjing gembala harapan bangsa

Domba disikat, hukum dikerat

Anjing penjaga, anjing khianat

Wasit diterjang, tuannya diserang

Anjing bejat, anjing laknat

Tuan dijilat, tuan dilumat

Anjing kurap pemburu emas

Kejar suap peramu culas

Belatung diperas, bintang jadi pedang

Domba ditindas, seragamnya alatnya berdagang

Pelanduk Ekor Ular

Pelanduk Ekor Ular

3.

Pelanduk licik berseragam apik,

berekor ular cerdik

Waspadai jika balik berbaik-baik,

mengembik seraya kentutkan kata-kata tengik

Jika tertindas, jangan mengadu

Datang melapor kau dicekik ditipu

Wajah sendu nan apik

Berganti rupa ular munafik, bukannya dibantu, kau dicabik-cabik

Ular perayu, pelanduk memelas

Katak terjebak, kumbang ditumpas

Air susu dibalas air tuba, salah memilih salah menduga

Pelanduk manis dikira utusan surga

Ekornya mematuk, tumpahkan bisa di atas luka

Pelanduk manis prajurit neraka

Pimpin negara alas angkara

Penumpang istana halalkan dosa

4.

Keladi gatal tumbuh subur

Bersisian singkong beracun

Petani bersyukur impikan makmur

Mati mendongak di batas kebun

Pupuk habis air pun kering

Sekering janji beringin rindang

Di birunya langit mendung, angin berpusing

Pening menunggu nyatanya nyanyian bintang

Bagai air di daun talas

Talas tandas, sisakan racun keladi

Bergabung penjudi dan si culas

Bintang – Beringin seuang tiga tali,

Katanya berbeda, akhirnya sama saja

Gemar memeras banyak berdusta

Nafsu berkuasa, tebar janji-janji mantra-mantra

Saat ditagih bersalin rupa srigala

Bintang bertanduk,

beringin pun layu membara

Rerumputan hijau hangus terbakar jumawa

Lupa diri lupa segala,

akar tertipu, batang tertawa

Buah pahit terpencar,

pucuk layu racun disebar

5.

Kutu busuk diberi jubah raksasa

Memegang pedang menggenggam palu

Tikus buta menjaga kitab, kitab sakti martabat bangsa

Babi mengaum laksana singa, semua dia tahu, semua dia mau

Garuda menangis tak kuasa tanggung malu

Pedang silat lidah, sidang para penanggung tulah

Tawar menawar di balik jubah

Kitab dibakar uang bicara

Palu diketuk, bedebah pun tertawa

Hidung Hukum Pinokio Bohong

Hidung Hukum Pinokio Bohong

6.

Jika benar saja hukum Pinokio untuk dusta

Monyet-monyet pun berhidung mancung

Tak ada lagi menteri bermuka rata

Kaum pesek habis dipancung

7.

Siapa raja siapa rakyat? mana penguasa mana hamba?

Jalan negara bukan jalan raja, jalan raja jalan sang penguasa

Partai raja bukan pemilik bangsa

Partai hamba bukan pula perongrong penguasa

Sibuk berdagang kaum kusir partai

Berebut kursi, si bodoh terbantai

Partai kusir partai pedagang

Pandai bertabir simulut jalang

Berkilah kusir membawa damai

Berbujuk-bujuk pura-pura bertikai

Kuda Partai Catur

Kuda Partai Catur

8.

Bersidang kaum pewakil catur partai raja-raja

Partai segala, koalisi hitam putih

Bukan kuda bukan pula zebra

Tak kotor, tak pula bersih

Atas abu-abu bawah berkabut

Kanan tak jelas, kiri samar-samar

Pantat di muka, muka di buntut

Hati di buah zakar, nurani buyar

Koal-“isi”, koal-“kulit”

Mari bersatu bagi-bagi duit

Koal-“isi”, koal-“kosong”

Bagi-bagi kuasa lalu nyolong

Zebra loreng zebra catur

Mari mencoleng, mari kita atur

panglima loreng panglima catur

Mari mendompleng lalu kaburrrrrr……….

(ditulis tanpa alas, dari kapal tak bernama di lautan bebas tidak jelas…, MosF, 02072010)