Duhai bunda, terimalah pengaduan hamba…
Bulan lalu ada ibu menjual bayinya,
takut tak mampu membesarkan
Minggu lalu anak perawan tetanggaku menjual diri
Terhimpit lapar, tak lagi peduli kehormatan…
Ada pula sahabat yang kukuh menjaga gengsi
Dalam diam marah lalu bunuh diri
Apakah hanya mati pilihan kami?
Habiskah pilihan kami?
Bunda tercinta, tahun lalu banyak anakmu mati terinjak-injak
tak berdaya menolak daya pikat pembagian sembako gratis
inilah kami yang tak bisa mengelak
panggilan para tuan besar kaya, cari nama secara bengis
Duhai bunda, tadi siang tabung gas meledak lagi
Selusin hangus setengah mati,
Sekeranjang lagi sungguh-sungguh mati jadi arang
Ibu anak meratapi tulang-belulang
Bunda tercinta, hamba hanya bisa marah
hanya itu pilihan tersisa
Ini anakmu datang menyembah
Haturkan sesaji penebus duka
Bunda, ijinkan hamba membunuh
sebab kami yang miskin, bodoh, sakit dan sial
telah bosan dan lemah terima ipuh
ijinkan kami membalas sekali sebelum ajal
Hamba menyajikan empat kepala
perampas kompor tua tercinta
Hamba membawakan empat penguasa
pemaksa masuknya bom ke dapur hamba
Terimalah sesaji hamba yang hina
Hasil sembelihan dengan sisa-sisa daya
Sebelum hamba yang lelah dan tua
Mati dengan sendirinya
Duhai bunda, terimalah sesaji hamba,
inilah kepala mereka yang kaya raya
duduk pongah di singasana
bangkai kompor tua milik hamba
Duhai bunda, berikanlah kiranya kami seorang raja
yang tahu rasanya lapar…
yang tahu sedihnya menjual bayi anak kandung sendiri…
yang tahu perihnya luka bakar akibat ledakan gas…
yang tahu mirisnya hati punya anak gadis pelacur…
yang tahu bagaimana rasanya tak berilmu…
Ah, ternyata… mohon maaf bunda,
hamba batal serahkan sesaji
karena ternyata
salah satunya, kepala hamba sendiri…
(dari kapal di atas gunung…, MosF-8 Juli 2010, jam 2:22)
wah, puisinya keren-keren mas…. salam kenal ya
Salam kenal, Mas. Wah, tulisan2 di blog Anda juga bagus2. Tq.
kunjungan balik. wah, ternyata blog-mu penuh inspirasi. kelihatannya saya mesti baca setiap posting pelan2 nih. hehehe
Bung Moses sekarang tinggal di mana?
salam hangat.
Trims komentarnya. Baca pelan2 berarti apresiasi tinggi, I’m trully delighted! Sy di lereng gunung Ungaran, Kab. Semarang. Postings di Indobrad juga luar biasa, sungguh.
ini juga kunjungan balik.. dan salam kenal..
terima kasih sudah berkunjung ke blog saya…
wah berat ne kata2nya… perlu sedikit mengernyitkan dahi untuk menyerap sari tulisan2 inspiratif ini…
salam hangat bang, kita memang memerlukan pemimpin yang mampu merasakan dan menlayani apa yang masyarakat butuhkan
puisi kritik yang bagus mas, saya suka. terutama bagian terakhir, sadar… tak hanya menyalahkan, namun juga mengakui. contoh dari insan yang bisa melihat kesalahan orang lain, juga kesalahan diri sendiri. tak hanya keegoisan pribadi. 😉
salam kenal ya mas, maap panjang komentarnya, namun tidak ada isinya. :p
SUngguh.. keren…
Kunjungan pertamax nih… 🙂
Makasih banyak, salam hangat.
Matur nuwun, Mas.
Mas, Ending puisinya sangat mengejutkan, penuh pemberontakan. Kasihan bunda pertiwi, Mas. Karena Bunda pertiwi tengah menangis.
Salam,
Bal-Q
Tq byk, Bal-Q. Karya2 Anda juga semakin mantap aja.
hmm..luar biasanya, banyak pesan tersirat didalamnya..