Ikutkan 2 Lukisan di A(rt)SEM 2010

Setelah menimbang berbagai aspek, akhirnya saya memilih lukisan “Forced to be One-voiced” (Perjalanan Wajah dan Omongan Kentut) dan “Cakrabumi” untuk diikutkan pada pameran A(rt)SEM 2010, yang akan diadakan mulai 10 Desember 2010 sampai 31 Januari 2011 di Semarang.

Forced to be One Voiced, Moses F, 2009, Oil on Canvas

Forced to be One Voiced, Moses F, 2009, Oil on Canvas

Judul lain lukisan ini adalah “Perjalanan Wajah dan Omongan Kentut”. Lukisan ini berkisah tentang Pemilu 2009 di Indonesia. Wajah para tokoh berjalan-jalan kemana-mana di baliho, kaos, kalender, stiker, dan lain-lain. Sementara para juru kampanye sang tokoh, berpidato mengumbar janji dan memuji-muji tokoh junjungannya.

Cakra Bumi, Oil on Canvas, 90cm X 90cm, 2008

Cakra Bumi, Oil on Canvas, 90cm X 90cm, 2008

Sementara lukisan kedua berthema kesadaran akan kefanaan dan kekurangan diri sendiri, berangkat dari sebuah puisi berjudul sama.

karena dunia adalah fana
waktu terus berjalan
angin bertiup
daun berguguran
manusia semakin busuk
saat hidup dan setelah mati
semakin hari
forever and ever till the end of time

Kedua lukisan ini saya pilih agar sesuai dengan maksud diadakannya art-event ini. Mengutip ulasan Panitia & penggagas yang saya tangkap sebagai pokok pikiran utama A(rt(SEM 2010, sebagai berikut:
“… Tak hanya menyuguhkan hasil visual, terpenting juga mengelola proses gagasan hingga pencapaiannya.
Dengan seni mendampingi kebaruan yang terus berkembang. Aktif bersinggungan dengan public beserta pembacaan akan konflik didalamnya. Konflik ini diartikan sebagai perbedaan pola pikir manusia dalam upaya melahirkan kebaruan. Disisi lain konflik bisa berakibat fatal berbentuk anarki. Kondisi tersebut sering kita saksikan diberbagai media, baik lokal maupun internasional. Walau menurut perjalanan ideologi, anarki adalah kewajaran proses menuju kebaruan, sebagai warga yang berbudaya, kiranya lebih baik berupaya sesingkat mungkin memiliki kesadaran menuju hidup harmonis. Harmonis adalah kebiasaan publik yang bisa dilanggengkan. Selain sebagai solusi hidup damai, juga sebagai identitas berbentuk local culture semisal bagi sebuah kota. Semarang dengan multikultural etnis adalah contoh dalam hidup secara harmonis. Boleh beragam tidak untuk diseragamkan. Demi kenyamanan hidup, terbuka dengan menghargai segala macam perbedaan.”

Ungaran, 20 Nopember 2010

Galeri Portofolio Karya

Inilah sebagian karya lukisan saya. Katalog lukisan yang masih tersedia dapat dilihat di page “For Sale”.

Untuk membukanya silakan klik judul page atau klik di sini.

This slideshow requires JavaScript.

Terimakasih Tuhan, memperkenankanku pikul kuk dan terus berkarya.

Sebagian lukisan ini dijual melalui Artyii, Singapura.

Mengalir… dan mengalir…  terus melukis dan melukis dengan bebas, tidak terikat oleh suatu gaya atau aliran khusus. Batasan terpenting bagi saya adalah tiga hal yang sama pentingnya; yang pertama, unsur estetika tetap terjaga; kedua, pesan tersampaikan secara utuh; ketiga, kepuasan berekspresi. Sulit atau mudahnya pemahaman akan simbolisasi narasi karya; seperti halnya konsep semiotika lainnya, adalah pilihan laiknya penggunaan bahasa sehari-hari yang sederhana atau memilih cara penyampaian lain yang lebih rumit. Setiap karya mulai konsep hingga penyelesaian akhir harus dibuat sungguh-sungguh dan total, sebagai pengejawantahan kiprah berkesenian yang (semoga) bertanggung jawab.

Selamat menikmati…

Lukisan: “I am woman & I am strong”

Lukisan ini didedikasikan untuk semua wanita tangguh, yang kuat dan pantang menyerah dalam daya juang penuh keanggunan dan keindahan.

 

I am woman and I am strong

I am woman and I am strong

“I am woman & I am strong” (Moses F, 4 Nopember 2010), Oil on Canvas, 70cm X 90cm.

 

The Wild Beasts, Please Live again! (I miss your painterly & strong color!)

Les Fauves (French for The Wild Beasts) were a short-lived and loose grouping of early 20th century Modern artists whose works emphasized painterly qualities and strong colour over the representational or realistic values retained by Impressionism. While Fauvism as a style began around 1900 and continued beyond 1910, the movement as such lasted only three years, 1905–1907, and had three exhibitions. The leaders of the movement were Henri Matisse and André Derain.

Matisse_-_Green_Line

Matisse_-_Green_Line

Besides Matisse and Derain, other artists included Albert Marquet, Charles Camoin, Louis Valtat, the Belgian painter Henri Evenepoel, Maurice Marinot, Jean Puy, Maurice de Vlaminck, Alfred Maurer, Henri Manguin, Raoul Dufy, Othon Friesz, Georges Rouault, the Dutch painter Kees van Dongen, the Swiss painter Alice Bailly, and Georges Braque (subsequently Picasso’s partner in Cubism).

An oil painting is painterly when there are visible brushstrokes, the result of applying paint in a less than completely controlled manner, generally without closely following carefully drawn lines. Works characterized as either painterly or linear can be produced with any painting media, oils, acrylics, watercolors, gouache, etc. Some artists whose work could be characterized as painterly are Pierre Bonnard, Francis Bacon, Vincent van Gogh, Rembrandt, Renoir, and John Singer Sargent. In watercolor it might be represented by the early watercolors of Andrew Wyeth.

In contrast, linear could describe the painting of artists such as Botticelli, Michelangelo, and Ingres, whose works depend on creating the illusion of a degree of three-dimensionality by means of “modeling the form” through skillful drawing, shading, and an academic rather than impulsive use of color. Contour and pattern are more in the province of the linear artists, while dynamism is the most common trait of painterly works.

MosF, Nop. 2010

“Living is Dying” Didedikasikan untuk semua ibu sedunia…

Living is Dying

Living is Dying

“Living is Dying”, (Moses F, 2010), Oil on Canvas, 145cm X 290cm.

sejak detik pertama pembuahan hingga tulang belulang renta atau mati muda

embryo tak pernah jauh dari peti mati

akhirnya pun sama-sama ke perut bunda tercinta

jika hidup hanya untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri

maka mati tak kan banyak bermakna

kecuali tergantinya cinta bunda menjadi berhala diri

aku boleh menjadi apa saja asalkan cinta bunda hidup selamanya

jangan mati-mati, hiduplah hidup terus dalam setiap tetes darah dan selku, bunda

cintamu pada ananda membuat kepalaku berada di tempatnya, tertahan di badan hanya dan hanya jika cintamu masih mengaliri urat leherku!

jangan mati-mati bunda, ananda masih memerlukan telapak kakimu!

(MosF, Ungaran, 1 Nop. 2010, dalam rindu bersimpuh mengeluh pada bunda nun jauh di sana)