Inilah 2 karya pembawa narasi simbolik yang mungkin saja bias karena tercampur dengan suara hati sebagai anak kampung. Darah Dayak yang mengalir sedikit banyak membuat sudut pandang objektif bercampur dengan sentimen subjektif, pengaburan logika oleh kasih dan sedikit amarah. Sepertinya, atas nama seni, semua ini jadi sah-sah saja. Dan meski demikian, tetap saja saya merasa tak leluasa untuk menggunakan beberapa ornamen sakral yang sedemikian mistis dan dijunjung tinggi, sehingga dalam karya yang pertama, yaitu abstraksi lukisan “Batang Garing Kinan Uret” yang artinya “Pohon Kehidupan Dimakan Ulat” tidak disertakan ornamen seperti burung Tingang, Belanga, Matahari dan Buaya.

Batang Garing Kinan Uret
“Batang Garing Kinan Uret” (Moses F, Oktober 2010), Oil on Canvas, 140cm X 290cm.
Batang Garing yang bagi masyarakat Dayak Ngaju khususnya, penuh dengan perlambangan kosmos, adalah mitologi yang diyakini kebenarannya sebagai ungkapan kisah Genesis dan simpulan eksegesis atas tutur lisan “Tetek Tatum” mengenai asal-usul alam semesta serta hukum-hukum keseimbangan kosmik.
Jika dibandingkan dengan Pohon Kalpataru, Gunungan atau bahkan Tree of Life-nya kaum Yahudi paganis Kabbalist & kitab kuno Talmud, “Batang Garing Belum” memiliki keluasan dan kedalaman yang berbeda. Mungkin pemahaman kita akan sedikit terbantu jika telah terbaca karya Prof. Santos tentang Atlantis, atau Stephen Oppenheimer dengan karya fenomenalnya,“Eden in the East” , menyebutkan ada kebudayaan “tree of life” tertua di dunia di daratan yang sekarang diperkirakan adalah pulau Kalimantan. Masanya diperkirakan sekitar pada tahun 8.000 SM. Lebih tua daripada kebudayaan Mesir.
Sedangkan pada karya kedua, lebih sebagai ungkapan keprihatinan ketika berkelana ke pedalaman Kalimantan yang kaya.
Dalam pemaknaan ambigu yang seiring, “Mangaramak Bawi Lewu” terjemahannya adalah “Mencakar Gadis Desa” bisa dimaknai secara harfiah sebagai menodai gadis desa, atau makna simbolik sebagai mengeruk dan merusak tanah Dayak. Bukankah keduanya terjadi berbarengan?
Tanah dirusak, diambil kandungannya; gadis desa pun dirusak, dinodai kandungannya. Mengambil yang baik dan meninggalkan kerusakan.
Selebihnya, silakan memaknai sendiri, karena pada hakekatnya makna bukan terletak pada karya benda, tapi pada persepsi masing-masing pelihat.

Mangaramak Bawi Lewu
“Mangaramak Bawi Lewu” (Moses F, 2010), Oil on Canvas, 80cm X 100cm.
Rami-rami kawan bakey bihuang mangaramak bawi lewu
Rebuk talawang, batang karatak lelep sampai ngaju
Maitur bahalai, ela ah mahapan lawai rutus
Ayu samandiai, ela kalapean manggatang utus!
Syair di atas dapat diterjemahkan begini:
Ramai-ramai kawanan monyet dan beruang mencakar gadis desa
Jika perisai lapuk, tenggelamlah jalanan dan sungai hingga ke hulu
Kalau menjahit kain, janganlah gunakan benang lapuk
Mari kita semua, jangan lupa mengangkat martabat
Dari kedua lukisan itu, muncul harapan bagi seluruh penghuni tanah Dayak serta pemerintah, terutama Kalimantan Tengah agar tak kita lantas menjual murah tanah pusaka. Bukan karena tanah itu sedemikian sakral, namun terbukti bahwa perusakan yang terjadi telah pula merusak sakralnya kehidupan di atasnya.
Dari tanah perantauan, MosF, 18 Oktober 2010.
-7.132577
110.407631