Sadar ku kini, aku binatang
Kala belia dan harus memilih antara kerja keras menimbun emas dan kuasa atau menghimpun pengalaman, aku memilih melanglang buana tanpa tujuan
Hartaku kini adalah setimbun kepahitan dan setitik emas bernama kesadaran
Sadarku kini aku binatang,
bermulut aku hanya untuk bicara bak binatang
berotak aku hanya untuk berpikir jalang
berperut aku dan tak pernah kenyang
dan, ah… tiba-tiba seseorang memberiku pangkat, kuasa untuk berlipat-lipat lebih bejat, semakin ku bejat semakin aku kuat
belum puas pula dengan segala nikmat, tiba-tiba aku memperoleh jubah dan mimbar, lalu bicara di hadapan umat mengajarkan berlaksa-laksa hujat, semakin ku sesat, semakin aku dipuja-puji
Sadar ku kini, aku binatang tak lelah-lelah berjahat-jahat
Dibelengggu dan dibekap tak memupus lautan niat laknat, mengalir memenuhi udara, menetes di tiap titik keringat, lalu menjadi sungai beracun, siap tumpah, meresap, menguap, menyebar dan terus menular
Dapatkah cambuk merubahku? Mustahil, aku kan kian beringas!
Dapatkah jeruji mengurungku? Mustahil, di sana ku malah bebas!
Dapatkah peluru menghentikanku? Mustahil, tubuhku tak mempan senjata dan aku punya berlapis-lapis jiwa
Lalu namun ternyata kemudian, sejak lama Ia tahu aku tak punya Roh….
Pemberian Roh-Nya menaklukkan kebinatanganku
Roh itu membuatku beroleh setitik emas bernama kesadaran, kebeningan kasih yang menyadarkan bahwa aku binatang
Pantas aku terbekap, terbelenggu, meski tak sorang pun tahu tatkala aku sadar diri; belum pantas aku bebas
Biarlah tak bebas asalkan lantas menjadikanku makhluk terang.
Ungaran, 27 Januari 2011
MosF (Dalam segala ucapan syukur atas cambuk, jeruji dan belenggu dari-Nya yang menganugerahkan kebebasan sejati)